Senin, 03 Mei 2010

SELAMAT HARI PENDIDIKAN RI, 2 MEI 2010


MENGENANG PERJUANGAN Pendidikan RI, Karya Agung Ki Hajar Dewantara, Bpk Pendidikan Nasional RI, Perguruan “TAMANSISWA”
Zulkarnain Sidabutar SH, MEd, EdD

”Di Bulan Juli pada tanggal 3, 8 Dzulkaedah, Didirikan dengan bersusah payah, dijaman penjajah, Ki Hajar yang menjadi pelopornya, dengan tujuan mulia, Perguruanku, Usaha Rakyat, Itulah Tamansiwa…” (sepotong lagu koleksi Pendidikan keTamansiswaan)

Perguruan Tamansiswa adalah perguruan nasional yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara, yang nama asli beliau sebenarnya adalah RM Suwardi Suryaningrat. Perguruan Tamansiswa berdiri pada tanggal 3 Juli 1922 di Jogjakarta. Tamansiswa merupakan institusi pendidikan di negeri ini yang berkontribusi besar terhadap perwujudan kemerdekaan RI. Perguruan ini bukan hanya sebagai institusi pendidikan belaka, tetapi juga media perjuangan kemerdekaan.

Ki Hadjar Dewantara adalah anggota tiga serangkai yang bersama Cipta Mangunkusuma dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, organisasi politik pertama di Indonesia. Karena pendiriannya yang tegas menentang penjajahan Belanda, beliau dibuang ke Bangka dan kemudian ke negeri Belanda (1915-1919).

Sekolah pertama yang didirikan adalah taman indria (taman kanak-kanak) dan kursus guru, kemudian diikuti dengan pendirian taman muda (SD), dan taman dewasa (SMP merangkap taman guru). Setelah itu, diikuti dengan pendirian taman madya (SMA), taman guru (SPG), prasarjana, dan sarjana wiyata (YB Suparlan, 1981). Dalam waktu delapan tahun Perguruan Tamansiswa telah berkembang menjadi 52 tempat.

Perkembangannya yang pesat itu menimbulkan kekhawatiran pada Pemerintah Belanda sehingga dikeluarkanlah Undang-Undang Sekolah Liar (Onderiwijs Ondonantie/OO), 1932. Undang-undang itu melarang sekolah partikelir (swasta) beroperasi bila tanpa izin dari pemerintah, harus menggunakan kurikulum dari pemerintah dan gurunya harus tamatan dari sekolah guru pemerintah. Bila OO itu dilaksanakan, Perguruan Tamansiswa akan tutup karena sebagai sekolah swasta kebangsaan, Taman- siswa menggunakan kurikulum sendiri dan pamong dari sekolah guru sendiri.

Menghadapi tekanan itu, Ki Hadjar Dewantara melawan dengan dua cara. Secara internal, ia menyerukan kepada semua pemimpin Tamansiswa dan Wanita Tamansiswa untuk melawan OO 1932 dengan tetap terus menjalankan sekolah. Pamong yang ditangkap dan tidak boleh mengajar karena tidak berijazah guru pemerintah secepatnya diganti dengan pamong lain dengan semboyan ”ditangkap satu diganti seribu”.


Secara eksternal, ia mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor yang menyatakan akan mengadakan perlawanan sekuat-kuatnya dan selama-lamanya dengan cara tenaga diam (Lijdelik Verset). Perjuangan yang gigih itu membuahkan hasil karena pada tahun 1934 Onderwijs Ondonantie dicabut. Perguruan Tamansiswa dan sekolah swasta lainnya selamat dari kematiannya. Tahun 1936, Tamansiswa memiliki 161 cabang, 1.037 kelas, 11.235 murid, dan 602 guru.

Dituduh berbau komunis

Pendirian Perguruan Tamansiswa yang berasaskan tujuh, yaitu kemerdekaan, metode among, berperadaban bangsa sendiri, pemerataan pendidikan, mandiri, sederhana dan makarya, serta dengan suci hati dan tidak mengharap sesuatu hak berkehendak berhamba kepada sang anak, menyebabkan Ki Hadjar Dewantara menghadapi kritikan pedas dari pemerintah penjajah yang menuduh berbau komunis karena kerakyatannya. Akan tetapi, ia juga memperoleh dukungan dari kaum nasionalis/republiken (Ki Soenarno Hadiwijoyo, 2007).

Pascakemerdekaan, semangat juang Tamansiswa itu terakomodasi dalam semangat berbangsa dan bernegara. Ki Hadjar Dewantara adalah seorang peletak dasar sistem pendidikan nasional. Beberapa Menteri Pendidikan berasal dari Tamansiswa. Banyak tokoh, baik di pemerintahan maupun seniman, lahir dari lingkungan Tamansiswa. Semangat Tamansiswa tecermin dalam rumusan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Pokok-Pokok Pengajaran di Sekolah yang menjunjung tinggi kebangsaan.

Namun, sesuai dengan perkembangan zaman, Perguruan Tamansiswa makin surut dari panggung sejarah. Sekarang, Perguruan Tamansiswa hanya memiliki: 129 cabang , dengan 85.115 murid, dan 5.500 guru. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang banyak, kondisi Tamansiswa sekarang mengalami kemunduran jauh bila dibandingkan tahun 1936.

Sekolah-sekolah Tamansiswa sekarang menjadi pilihan terakhir bagi masyarakat setelah tidak diterima di sekolah negeri maupun swasta lainnya, dengan gedungnya yang kumal. Tidak ada tokoh baru yang muncul dari Perguruan Tamansiswa. Secara politis, tidak diperhitungkan lagi, terbukti tidak ada presiden pasca- Orde Baru yang datang ke Tamansiswa untuk mencari legitimasi.

Korban politik

Titik awal kemunduran Perguruan Tamansiswa dimulai sejak peristiwa politik 1965–1966 yang menyebabkan sejumlah orang kritis ditangkap, termasuk para pamong Tamansiswa di cabang-cabang. Para pamong yang tersisa atau penggantinya lebih memilih diam, tidak kritis demi menjaga keselamatan perguruan. Namun, sikap diam mereka itu justru merugikan Tamansiswa sendiri karena sejak itu suara Tamansiswa tidak lagi diperhitungkan oleh publik. Kondisi itu berlanjut hingga sekarang.

Kebijakan Orde Baru mendirikan SD Inpres secara masif di semua daerah turut memundurkan peran Perguruan Tamansiswa. Beberapa SD Tamansiswa yang berdekatan dengan SD Inpres tutup. Demikian pula kecenderungan masyarakat untuk memilih sekolah sesuai dengan agama yang dianutnya, berkontribusi pada tidak lakunya sekolah di lingkungan Tamansiswa karena muncul wacana bahwa sekolah di Tamansiswa itu sekuler. Pada masa Ki Hadjar Dewantara dulu, di Tamansiswa memang tidak diajarkan pendidikan agama, melainkan budi pekerti. Bagi insan Tamansiswa, hantaman dari pemerintah kolonial ternyata lebih mudah dihadapi daripada tantangan dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia sendiri.

Reformasi politik (1998) ternyata tidak membawa dampak perbaikan bagi Perguruan Tamansiswa. Sebaliknya, kebijakan pendidikan nasional makin jauh dari ajaran Tamansiswa, seperti tecermin dalam UU Sis- diknas yang tidak memiliki roh kebangsaan. RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (RPP PPP) yang sangat kapitalistik juga ditolak Majelis Luhur Tamansiswa karena keduanya itu bertentangan dengan Dasar Tamansiswa (Panca Dharma), yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Penolakan itu adalah ekspresi dari kegelisahan Tamansiswa terhadap praksis pendidikan menjadi sangat kapitalistik, sektarian, dan melupakan sejarah bangsa.

Tulisan ini kami sadur dari Sdri Darmaningtyas
Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta.
Penulis Sendiri adalah siswa Taman Muda(SD) Surabaya th 1978, Pamong Taman Dewasa(SMP) dan Taman Madya(SMA) Majelis Cabang Surabaya c/o Alm Ki I Putu Putra dan Nyi Hj Dahlia Harahap BA serta Pamong Taman Dewasa(SMP) dan Taman Madya(SMA) Majelis Cabang Binjai c/o Alm Ki Suharto.

Cucu pertama Ki Alimuda Harahap (Perg.Tamansiswa MC. “Pematang Siantar”)
Anak pertama Nyi Hj dahlia Harahap, BA (perg. Tamansiswa MC. “Surabaya”)
2 Mei 2010.

Dirgahayu Tamansiswa.:) Saya bersyukur jd anak Tamansiswa, Semoga Mutu mu tetap tinggi.