Jumat, 10 April 2009

ABU ZAR


Sosok sahabat yang satu ini sudah menjadi penentang pemujaan berhala sejak sebelum ia mengenal Islam. Meski besar di kelompok yang memuja berhala, namun Jundub bin Junadah, yang biasa dipanggil Abuzar, sejak kecil selalu menolak menyembahnya. Pemuda yang berasal dari suku Ghifar di bukit Waddan, dekat kota Mekkah ini, menganggap pemujaan berhala merupakan kepercayaan yang tidak masuk akal.

Abuzar pertama kali bersentuhan dengan Islam ketika ia mendengar kabar bahwa di Makkah ada seorang pria yang mengaku dirinya adalah nabi. Ia berharap pria ini memang seorang nabi dan kedatangannya bisa mengubah hati, pikiran, dan kepercayaan sukunya dari kegelapan.

Ia kemudian meminta adiknya yang bernama Anis untuk segera pergi ke Makkah untuk mencari kebenaran berita itu. Sesuai permintaan Abuzar, Anis pergi ke Mekkah dan bertemu Rasulullah.

Setelah itu, ia pulang dan menyampaikan apa yang ia lihat dan dengar di Makkah. Ia menyebut kalau sosok yang ia temui adalah sosok yang rendah hati, bersahaja, dan kalimat yang meluncur dari mulutnya bukanlah puisi atau syair yang dibuat manusia.

Mendengar hal tersebut, Abuzar sangat tertarik dan memutuskan untuk melihat sendiri ke Makkah. Namun Anis memperingatkannya untuk berhati-hati terhadap orang Mekkah yang membenci pria bernama Muhammad itu.

Di Makkah, karena tak memiliki tempat tinggal, ia tidur di dekat Kabah. Suatu malam, ketika tengah tertidur, Ali ibn abi Talib berjalan melewatinya. Menyadari orang yang dilewatinya adalah orang asing, Ali lalu membangunkan dan mengajak Abuzar menginap di rumahnya.

Paginya ia bangun, lalu kembali ke dekat Kabah untuk mencari sosok sang nabi. Namun ia tidak berkata dan bertanya apapun kepada siapapun sehingga ia tidak bertemu Nabi Muhammad SAW.

Malamnya, Abuzar kembali tidur di dekat Kabah. Ali yang melihatnya kembali mengajaknya menginap di rumahnya. Meski demikian, keduanya tidak bercakap-cakap sedikitpun.

Baru pada malam ketiga, Ali bertanya kepada Abuzar soal alasannya datang ke Makkah. Abuzar berkata ia bersedia mengungkapkan alasannya asal Ali mmembawanya kepada orang yang ingin ia temui. Setelah Ali setuju, Abuzar berkata bahwa ia datang dari jauh dan ingin menemui sosok nabi yang dikabarkan ada di Makkah. Ia menyebut ingin bertemu dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh nabi tersebut.

Mendengar hal tersebut, seketika wajah Ali berubah menjadi cerah dan dipenuhi kegembiraan. Malam itu, Abuzar tidak bisa tidur karena kegembiraan dan rasa penasarannya yang luar biasa.

Pertemuan pertama itu terjadi di Makkah. Mendengar kisah Abuzar, Rasulullah kemudian membacakan beberapa ayat Alquran. Tidak butuh waktu lama untuk membuat Abuzar Al Ghifari membaca syahadat dan menjadi seorang Muslim.

Ia adalah salah satu sahabat yang pertama kali masuk Islam. Setelah itu, Abuzar menetap bersama Rasul di Mekkah. Ia belajar Islam dan Alquran dengan giat.

Khawatir dengan perlakuan orang Quraisy, Rasulullah meminta Abuzar untuk tidak mengumukan dirinya sudah menjadi seorang Muslim kepada orang Quraisy. Rasulullah khawatir Abuzar akan disiksa.

Namun dengan berani, Abuzar berkata, "Demi Allah yang ditangan-Nya nyawaku berada, aku tidak akan meninggalkan Makkah sampai aku pergi menuju Kabah dan menyatakan kebenaran kepada bangsa Quraisy."

Di tengah kerumunan warga Quraisy di dekat Kabah, Abuzah berkata dirinya telah bersyahadat. Mendengar hal itu, orang Quraisy menjadi sangat marah. Mereka mulai memukuli Abuzar dan bermaksud membunuhnya.

Namun untunglah ada Abbas bin Abdul Muttalib. Abuzar pun segera dilindungi dan diselamatkan oleh paman Rasulullah itu.

Kepada orang Quraisy, Abbas mengatakan bahwa Abuzar berasal dari suku Ghifar yang daerahnya dilintasi kafilah dagang Quraisy. Karena takut dibalas, akhirnya orang Quraisy membebaskannya.

Rasul kemudian meminta Abuzar kembali dan menyampaikan apa yang telah ia pelajari kepada sukunya. Abuzar kemudian kembali ke sukunya dan menemukan adiknya telah menjadi seorang Muslim juga.

Keduanya kemudian mengajak ibunya yang segera bersyahadat. Mereka tidak pernah berhenti menyebarkan Islam sehingga pada akhirnya, komunitas ini menjadi salah satu komunitas Muslim terbesar.

Setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, ia menyusul ke sana. Abuzar kemudian memperkuat pasukan Muslim dalam perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Di Madinah, Abuzar meminta izin agar ia diperbolehkan melayani dan selalu menemani Rasulullah.

Setelah Rasulullah meninggal, Abuzar memutuskan untuk pergi dari Madinah. Ia merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan di kota ini. Abuzar memutuskan pindah ke sebuah daerah di gurun kawasan Suriah. Ia tinggal disana selama masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Selama masa kekhalifahan Ustman bin Affan, Abuzar tinggal di Damaskus. Ia sangat perihatin melihat orang Islam yang senang dengan kehidupan duniawi dan senang hidup bermewah-mewahan. Sehingga kemudian ia dipanggil pulang ke Madinah oleh Usman.

Di Madinah, kritikannya tidak berhenti. Ia mengecam orang-orang yang menikmati kehidupan duniawi sehingga oleh Usman akhirnya ia diminta pindah ke Rubdhah, sebuah desa kecil di dekat Madinah.

Ia hidup dalam kesederhanaan. Seorang pria pernah datang ke rumahnya dan bertanya kepada Abuzar tentang barang apa yang ia miliki. ''Aku memiliki rumah di akhirat, dan itu merupakan milikku yang paling berharga,'' ujarnya. Abuzar bersikukuh hidup dalam kesederhanaan dan senantiasa berhemat atas apa yang ia miliki.

Suatu ketika, amir dari Suriah mengirimnya uang sebanyak 300 dinar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Abuzar kemudian mengembalikan uang tersebut dan menyatakan agar sang amir memberikannya kepada mereka yang lebih membutuhkannya daripada dirinya.

Sebagai salah seorang yang pernah nyantri di sebuah Panti Asuhan di desa Porong (yang tenggelam karena Lumpur Lappindonya itu), Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.. ingin saya melengkapi kisah Abuzar Al Ghifari ini seperti yang pernah diceriterakan guru saya yang terhormat Alm UST. H. Abdurrahim Nur, MA (Mantan Dekan Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Ampel Surabaya dan juga PWM Muhammadiyah Jawa Timur)

Ceriteranya begini, kata beliau…waktu itu…didesa yg terpencil dan sepi itu, Abuzar tinggal bersama istrinya menghabiskan hidup mereka dengan beribadah kepada Allah SWT. Satu saat beliau berkata kepada istrinya kalaulah tiba saat dimana Beliau harus menghadap kepada Allah SWT, agar supaya tidak merepotkan istrinya, beliau berkata jangan susah umi…keduk saja tanah didalam rumah ini sebesar tubuh saya, tunjangkan/ sorong dengan kakimu bangkai tubuh saya agar jatuh kedalam tanah yang sudah kamu keduk itu lalu tanam maka tuntaslah sudah tugasmu. Mendengar perintah tersebut tetulah sebagai seorang istri yang setia, beliau menangis dan bertanya kenapa buya berkata begitu, Abuzar bilang bahwa dia sudah mulai merasakan bahwa ajalnya, Insya Allah sudah kian dekat. Memang benar kawan tibalah saat ajalnya Abuzar, Meninggallah beliau. Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Dengan sangat sedih dan terharu istri Abuzar pun mulai melakukan segala perintah wasiat suaminya tersebut, tentu sambil berlinang air mata. (entah ya kawan…saya, pak zul ini..sudah beratus mungkin sudah beribu kali menceriterakan hal ini berulang-ulang baik kepada sahabat-sahabat saya, mahasiswa saya, keluarga saya, keluarga, tetangga dan murid-murid saya tetap saja saya menangis terharu dan keluarlah airmata saya, sebagaimana saat mana saya sedang mengetik dan posting tulisan ini…I don’t know why….)

Saya lanjutkan ceriteranya ya…..begitulah sambil mengeduk tanah untuk makam Abuzar rencananya, tiba-tiba Umi, istri Abuzar tersebut kedatangan tamu sebuah rombongan kabilah yang berhenti dan minta ijin untuk minta air, karena dekat rumah Abuzar terdapat sebuah sumur kecil. Sebagaimana biasanya Umi jelas mengijinkan mereka, namun sambil ngobrol-ngobrol, salah satu pimpinan kabilah atau rombongan tersebut betanya kepada umi, “Umi..seingat saya didesa ini, adalah tempat tinggal guru kami, yang namanya Abuzar Al Ghifari, apakah umi tahu ?” Umi mengangguk dan sambil menagis beliau ceriterakan wasiat suaminya tersebut, dan menunjukkan dimana mayat Abu Zar berada.

Pimpinan kabilah atau rombongan tersebut secara refleks dan sigap segera memanggil semua anggota rombongan dan berkata: “Ma ashirol muslimin rahimakumullah, ikhwan-ikhwan semuanya, sudah tiba saatnya bagi kita yang hidup kadang tidak tahu-menahu tentang rencana Allah, selain senantiasa meyakini bahwa maksud Allah lah yang terbaik dan yang paling betul bagi kita semua umatnya ini, yang semula kita hanya sekedar melewati desa ini dan numpang minum, ternyata kita sudah dipersiapkan oleh Allah untuk melaksanakan tugas kemusliman kita yang bersaudara ini semua, untuk merawat jenazah kekasih Allah yang sudah tiada ini.

Dia Abu Zar, bisa saja menganggap bahwa hidupnya tidaklah penting,
namun Allah SWT sebagai Khaliknya, pencipta semua insan-insan terbaik, tentu tidak akan rela membiarkan jenazah kekasihnya ini tergeletak mati begitu saja.
Mari sebelum kita meninggalkan desa ini, teriring salam kepada rasulullah Muhamad s.a.w, kita rawat jenazah kekasih Allah ini, kita mandikan, kita khafani, kita sholatkan dan kita makamkan dengan segala rasa hormat kita atas semua amal dan ibadahnya selama dia diberi Allah umur dan kehidupan, mudah-mudahan ampunan senantiasa dicurahkan Allah kepada kita semua..”

Nah, begitulah cerita guru saya dan saya sampai saat ini masih dan akan selalu sangat terkesan mendalam tentang pelajaran hikmah yg ditanamkan guru saya kepada saya khususnya untuk belajar senantiasa hidup bersahaja dan tanpa pamrih bahkan kepada Allah SWT sekalipun. Biarlah Allah SWT sendiri yang akan menentukan baik atau burukkah kita ini….

Abuzar meninggal dunia pada tahun 32 Hijriah. Terhadap sosoknya yang luar biasa, Rasulullah pernah berkata seluruh bumi dan langit belum pernah ada orang yang begitu tulus dan setia daripada Abuzar Al Ghifari.


Alllohumagfirlahu warhamhu wa 'afii wa'fuanhu....

Reproduced and enriched from:
http://www.kebunhikmah.com/article-detail.php?artid=309

Tidak ada komentar:

Posting Komentar